Menjadi Prioritas

Desember 22, 2016

Kamu yang saya kenal, tidak berarti memasukkan diri kamu dalam list prioritas harus mengikat kamu selalu ada dan atau saya harus selalu ada. Cukup ketika perlu --tanpa diminta.

Saya belajar, bahwa saya belum baik mengatur prioritas. Membagi waktu saya untuk keluarga, ibadah, akademik, teman, dan diri saya sendiri. Saya masih belum mau untuk melepas semua ego saya ketika bertemu yang lain. Saya belum mau untuk tinggal lebih lama.

Mungkin benar yang dikata orang, prioritas tidak bisa dinilai dengan angka. Seratus persen saya tidak selalu berarti sama dengan kamu. Pernah dengar ini?

“I give him 20 dollars, and he gives me 50 dollars. When he has 100 dollars, and 20 dollars is all I have.”

Lupa persisnya bagaimana, tapi ya intinya seperti itu. Saya tidak pernah main-main dengan prioritas. Maksud saya, ketika saya berani memasukkan orang lain ke dalam prioritas berarti saya merelakan waktu istirahat dan atau waktu dengan yang lain untuknya. Memprioritaskan berarti mau untuk bekerja lebih keras dan beristirahat paling ringan, memprioritaskan kadang menanggalkan logika; dan itu yang sedang saya lakukan. Saya sejujurnya tidak suka untuk mengatakan satu kata sakral ini dengan orang lain, rasa takut untuk ditinggalkan ketika saya perlu; rasa sedih ketika menyadari karena tidak sepenting itu urusannya; rasa yang jauh lebih sakit karena jatuh di lubang yang sama. Kali ini saya berani; untuk manusia yang ragu dengan bagaimana saya bersikap, silakan baca kembali dari kata pertama; tentang (si)apa yang saya prioritaskan saat ini.

You Might Also Like

0 komentar